kilas Potret

selamat datang wahai sahabat potret

Kamis, 12 April 2012

sejarah luasnya cerita kisah Samarinda seberang

 Sejarah terbentuknya Samarinda Seberang sendiri dimulai sekitar Tahun 1667. Saat itu sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) meminta suaka kepada Sultan Kutai. Mereka kemudian diberikan kesempatan oleh Sultan Kutai untuk membuka perkampungan di suatu Tanah Rendah.

Rombongan orang-orang Bugis Wajo ini dipimpin oleh Poea Adi. Sebagai imbalannya, perkampungan yang terbentuk juga dimaksudkan sebagi pertahanan dari serangan musuh. Sultan Kutai yang bijak memberi nama perkampungan ini “Sama Rendah”, yang dimaksudkan bahwa setiap penduduk baik asli maupun pendatang berderajat sama. Tak ada perbedaan antara suku Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya. Diperkirakan pelafalan Sama Rendah ini lama-kelamaan berubah menjadi Samarinda.

Banyaknya orang Bugis yang masuk ke daerah Kerajaan Kutai ini diperkirakan juga merupakan proses syiar Islam yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Sulawesi Selatan.Masjid Shirathal Mustaqiem

Pada tahun 1881 didirikanlah Masjid Shirathal Mustaqiem oleh Sayyid Abdurrahman Bin Muhammad Assegaf atau dikenal juga dengan nama Pangeran Bendahara. Kini masjid yang berada di Samarinda Seberang ini menjadi salah satu icon Kota Samarinda karena merupakan masjid tertua sekaligus berlatar belakang sejarah berdirinya Kota Samarinda. Masjid yang terbuat dari kayu ulin ini tak banyak berubah sejak awal didirikannya. Empat buah tiang penyangganya terbuat dari kayu ulin utuh dan mimbarnyapun terbuat dari kayu ulin dengan ukiran yang indah.
Karena sebagian besar penduduk Samarinda Seberang adalah bersuku Bugis, maka kebudayaan Bugis sangat terasa kental di daerah ini. Salah satu pengaruh Bugis yang telah dikenal luas adalah “Kerajinan Tenun Sarung Samarinda”. Pengrajin tenun sarung Samarinda yang bersuku Bugis, tersebar pada Kelurahan Baqa dan Masjid. Sarung Samarinda terbuat dari benang sutra yang berasal dari China yang kemudian diolah agar menjadi kuat. Benang tersebut kemudian ditenun dengan menggunakan alat tradidional yang disebut “gedokan” atau menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Satu buah sarung membutuhkan pengerjaan hingga selama sekitar 3 minggu.
Dampak positif yang diharapkan dari pencanangan Kampung Tenun di Samarinda Seberang, selain menjadi objek wisata, juga diharapkan mendukung peningkatan ekonomi masyarakat, terutama bagi masyarakat Samarinda, khususnya Kecamatan Samarinda Seberang